IndonesiaBuzz: Jakarta, 23 Juli 2024 – Bareskrim Polri berhasil membongkar kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus Pekerja Seks Komersial (PSK) yang melibatkan jaringan internasional di Sydney, Australia. Kasus ini terungkap berkat laporan dari Australian Federal Police (AFP) mengenai warga negara Indonesia (WNI) yang dikirim ke Australia untuk dijadikan PSK.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mendalami informasi tersebut dan melakukan penyidikan berdasarkan keterangan para korban di Australia serta menyita barang bukti terkait, seperti dokumen perjalanan, perekrutan, dan pengiriman uang.
“Kami mendalami informasi itu dan melakukan penyidikan dari keterangan para korban di Australia serta menyita barang bukti yang berkaitan seperti dokumen perjalanan, perekrutan dan pengiriman uang,” jelas Djuhandani dalam konferensi pers, Selasa (23/7/2024).
Dalam penyidikan ini, Bareskrim Polri berhasil menangkap satu tersangka berinisial FLA (36) di wilayah Kalideres, Jakarta Barat. Pelaku FLA berperan sebagai perekrut korban yang akan dikirim ke Australia, termasuk menyiapkan visa dan tiket pesawat untuk keberangkatan mereka ke Sydney.
“Yang bersangkutan juga berperan untuk menyiapkan visa dan tiket pesawat untuk memberangkatkan korban ke Sydney, Australia,” tambahnya.
Setibanya di Sydney, para korban akan dijemput oleh pelaku lain berinisial SS alias Batman, yang merupakan WNI yang telah berganti kewarganegaraan menjadi warga Australia. SS bertugas menampung dan mempekerjakan para korban di sejumlah lokasi prostitusi di Sydney, serta mengambil keuntungan dari hasil kerja mereka.
“SS alias Batman ditangkap AFP pada tanggal 10 Juli 2024 di Sydney dan saat ini menjalani penahanan di Kantor AFP,” ungkap Djuhandani.
Lebih lanjut, Djuhandani menjelaskan bahwa aksi pengiriman WNI untuk dipekerjakan sebagai PSK telah dilakukan oleh kedua tersangka sejak 2019, dengan total sekitar 50 WNI yang menjadi korban TPPO sindikat tersebut.
“Di Australia kurang lebih sebanyak 50 orang dan tersangka mendapatkan keuntungan sekitar Rp500 juta,” katanya.
Atas perbuatannya, kedua pelaku dijerat Pasal 4 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun.