Kata MEREKA, Korupsi telah menjadi persoalan darurat yang harus segera diatasi. Mereka yang menjadi petinggi negara itu menekankan bahwa pemiskinan adalah cara paling tepat untuk menciptakan efek jera bagi koruptor dan calon-calon koruptor. Namun, hingga saat ini, antara kata-kata dan tindakan masih kontradiktif dan berkebalikan.
Untuk memastikan upaya pemberantasan korupsi lebih efektif dan menghadirkan efek jera yang lebih mengena, regulasi yang lebih tajam untuk mengatur perampasan aset seharusnya sudah dibuat jauh-jauh hari. Namun, fakta bicara, sudah hampir dua dekade, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana tak lebih dari sekedar rancangan saja.
Alih-alih disahkan, RUU tersebut belum dibahas. Meskipun sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023, RUU Perampasan Aset masih mandeg di tempatnya. Sebagai pembuat undang-undang, pemerintah dan DPR belum cukup serius atau mungkin belum cukup berani untuk segera mengesahkan RUU tersebut.
Ketika membahas transaksi mencurigakan Rp349 triliun di Kementerian Keuangan, Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Mahfud MD meminta dukungan langsung Komisi III DPR melalui ketuanya, Bambang Wuryanto, untuk RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal.
Namun, hebohnya, dalam rapat tersebut, Bambang Wuryanto mengakui bahwa anggota DPR merupakan kader partai yang tunduk kepada ketua umum partai. Sehingga, ia menyarankan pemerintah berbicara dengan para ketua umum partai terlebih dahulu, sebelum membahas RUU tersebut.
Kesimpulannya, anggota DPR yang semestinya mewakili rakyat dan menampung aspirasi rakyat, nyatanya lebih berperan sebagai wakil partai. Jika begitu, Apa yang dapat diharapkan dari mereka? Sulit berharap mereka memiliki kemauan kuat untuk segera merampungkan RUU Perampasan Aset selama tidak ada perintah dari sang majikan.
Pemerintah, termasuk Mahfud MD, terus mengingatkan DPR akan pentingnya RUU Perampasan Aset. Namun, pemerintah sendiri tidak sadar bahwa undang-undang tersebut sangat mendesak, karena hingga kini pemerintah belum melimpahkan RUU Perampasan Aset itu ke Senayan.
Pengesahan RUU Perampasan Aset mutlak diperlukan ketika korupsi semakin menggila, TPPU semakin merajalela, dan pejabat semakin rakus dalam meraup harta. RUU Perampasan Aset dapat menjembatani norma illicit enrichment atau kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar, yang sebetulnya ada di Konvensi PBB Melawan Korupsi, tetapi malah belum diatur dalam undang-undang di Indonesia. RUU tersebut tidak hanya dapat digunakan untuk merampas aset para koruptor, tetapi juga pelaku pidana ekonomi lainnya, termasuk Narkoba.
Dengan RUU Perampasan Aset, penegak hukum tak lagi perlu menunggu ada pembuktian pidana asal untuk memproses perampasan aset. Saat ini, perampasan aset baru bisa dilakukan jika seseorang terbukti melakukan korupsi atau TPPU.
Kepada pemerintah dan DPR, diingatkan bahwa tidak ada alasan untuk terus menunda RUU Perampasan Aset. Fenomena terkini, dengan terungkapnya begitu banyak pejabat yang memiliki kekayaan tidak normal, adalah momentum untuk segera mengesahkan undang-undang ini.
Kedua pihak harus memiliki komitmen yang sama dalam pemberantasan korupsi. Keduanya saling bergantung sehingga harus sepakat dalam hal ini. Jika hanya satu pihak yang berkomitmen, maka tidak akan cukup. Penting bagi pemerintah dan DPR untuk membuktikan bahwa mereka memang menginginkan undang-undang ini segera disahkan dan tidak hanya seolah-olah menganggapnya penting, tetapi sebenarnya takut menjadi bumerang jika disahkan.
Kita perlu mengakhiri kontradiksi antara kata dan tindakan dalam pemberantasan korupsi. RUU Perampasan Aset merupakan senjata ampuh untuk mengatasi masalah ini. Kepada pemerintah dan DPR, tidak ada alasan untuk menunda lagi pengesahan undang-undang ini. Seluruh rakyat Indonesia mengharapkan keputusan yang bijak dan tepat guna dari para penguasa yang terhormat. @Jatimbuzz