Oleh: KP. Hari Andri Winarso Wartonagoro (Wakil Direktur Utama/Direktur Operasional PT Sunan Nusantara Media, Jurnalis)

IndonesiaBuzz: Opini – Unggahan Instagram Story dari Putra Mahkota Kraton Kasunanan Surakarta, KGPAA Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, yang menyuarakan kritik terhadap kondisi tata kelola negara telah menjadi sorotan publik.
Ungkapan “Nyesel gabung Republik” bukanlah sekadar ekspresi kekecewaan, melainkan suatu refleksi yang menggugah kesadaran kolektif akan perjalanan panjang sejarah dan realitas yang dihadapi bangsa ini. Dalam ranah komunikasi publik, bahasa memiliki daya resonansi yang mampu membentuk persepsi, menyentuh emosi, dan menggugah kesadaran sosial.
Sebagai figur yang memiliki akar kuat dalam tradisi dan sejarah bangsa, KGPAA Hamangkunegoro bukan hanya berbicara untuk dirinya sendiri, tetapi juga mewakili suara kebudayaan yang telah lama eksis di Indonesia.
Kraton Kasunanan Surakarta merupakan bagian dari peradaban Nusantara yang telah memberikan kontribusi besar dalam perjalanan bangsa ini, baik dalam aspek kebudayaan, sejarah, maupun tata nilai kepemimpinan. Oleh karena itu, suara yang muncul dari institusi bersejarah seperti kraton bukanlah sekadar opini pribadi, melainkan suatu bentuk komunikasi simbolik yang membawa pesan mendalam.
Pernyataan beliau seharusnya dipahami sebagai bentuk kritik konstruktif terhadap arah pembangunan dan tata kelola negara. Dalam dunia Neuro Linguistic Programming (NLP), dikenal konsep reframing, yaitu teknik mengubah perspektif terhadap suatu peristiwa untuk melihat makna yang lebih luas. Jika kita melakukan reframing terhadap ungkapan Putra Mahkota, maka yang tampak bukanlah sebuah pernyataan pesimistik, melainkan sebuah ajakan introspektif bagi bangsa ini untuk kembali menakar apakah cita-cita awal pendirian republik telah selaras dengan realitas yang terjadi saat ini.
Dalam klarifikasi yang disampaikan pihak Kraton, disebutkan bahwa unggahan tersebut merupakan bentuk keprihatinan terhadap kondisi pemerintahan yang dinilai kurang bertanggung jawab dalam berbagai aspek, termasuk pelayanan publik dan kebijakan yang seharusnya berpihak kepada rakyat.
Kritik ini tentu bukanlah serangan terhadap sistem republik itu sendiri, tetapi lebih kepada upaya introspeksi agar bangsa ini kembali kepada nilai-nilai yang telah diwariskan oleh para leluhur. Pertanyaannya bukan tentang menolak sistem, melainkan tentang bagaimana sistem ini dapat lebih selaras dengan nilai-nilai fundamental yang seharusnya dijunjung tinggi.
Selain itu, ada anchoring atau pemantapan emosi yang dilakukan dalam setiap bentuk komunikasi yang berpengaruh. Ungkapan yang disampaikan KGPAA Hamangkunegoro menciptakan efek anchoring yang kuat, membangkitkan memori kolektif tentang sejarah panjang hubungan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan republik. Sebuah perasaan yang menyentuh kebanggaan sejarah, namun di saat yang sama menimbulkan pertanyaan mendalam tentang bagaimana peran institusi budaya dalam konteks pemerintahan modern.
Lebih jauh lagi, KGPAA Hamangkunegoro menyoroti bagaimana generasi muda harus berani menyampaikan pendapat mereka terhadap kebijakan negara, namun tetap dalam koridor kesantunan dan kebijaksanaan. Di era digital yang penuh disrupsi ini, suara individu dapat menjadi arus utama dalam membentuk opini publik. Ini adalah momentum bagi masyarakat untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga menjadi agen perubahan dengan menyuarakan pandangan yang konstruktif dan berbasis fakta.
Sebagai seorang pemimpin yang lahir dari tradisi dan sejarah panjang bangsa ini, Putra Mahkota Kasunanan Surakarta tersebut ingin menyampaikan pesan bahwa negara ini tidak boleh kehilangan arah dalam mengelola kekayaan budaya, kesejahteraan rakyat, serta keadilan sosial. Kritik yang disampaikan oleh tokoh-tokoh adat dan budaya seperti beliau bukanlah bentuk perlawanan terhadap negara, melainkan panggilan untuk kembali menata ulang arah pembangunan bangsa sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan yang sesungguhnya.
Ini bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan sinyal bagi bangsa ini untuk memperbaiki kesalahan yang berulang. Kritik ini dapat diartikan sebagai upaya menciptakan meta-model—sebuah pendekatan yang menggali struktur mendalam dari komunikasi untuk memahami pesan yang tersembunyi di balik kata-kata. Apakah kita telah setia pada cita-cita pendiri bangsa? Apakah nilai-nilai kearifan lokal dan sejarah masih menjadi bagian dari perjalanan Indonesia ke depan?
Jangan sampai kritik yang berasal dari kecintaan terhadap bangsa ini justru dipahami sebagai bentuk perlawanan. Sebaliknya, inilah saatnya bagi pemerintah dan masyarakat untuk duduk bersama, mendengarkan, dan memperbaiki apa yang memang perlu diperbaiki. Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menutup telinga terhadap kritik, tetapi bangsa yang mampu menjadikan kritik sebagai energi untuk melangkah lebih maju.
Sebagai bagian dari masyarakat yang mencintai kebudayaan dan tradisi Nusantara, kita harus memahami bahwa suara dari seorang Putra Mahkota bukanlah sekadar keluhan, tetapi sebuah panggilan kesadaran nasional—ajakan untuk kembali mengingat akar sejarah, nilai luhur, dan tanggung jawab dalam membangun negeri ini dengan lebih baik. @indonesiabuzz