IndonesiaBuzz: Tokoh – Srimulat, nama yang tak pernah lekang oleh waktu dalam sejarah seni pertunjukan Indonesia. Namanya menjadi simbol keberanian, ketekunan, dan dedikasi dalam meraih prestasi di dunia seni.
Awal Kehidupan dan Pendidikan
Srimulat lahir pada tanggal 7 Mei 1905 dengan nama lengkap Raden Ayu Srimulat. Ia adalah putri bungsu dari pasangan Raden Mas Aryo Tjitrosoma dan Raden Ayu Sedah. Keluarganya memiliki latar belakang bangsawan, dengan ayahnya menjabat sebagai wedana di Bekonang, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Kehidupan awalnya tampak berjalan biasa, namun takdir membawanya pada jalan yang tak terduga.
Setelah kehilangan ibu kandungnya pada usia 6 tahun, Srimulat dibawa ke rumah kakak ayahnya, Raden Mas Sunarjo, yang saat itu bekerja sebagai komis asisten residen di Klaten. Ia melanjutkan pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Klaseman, Gatak, Sukoharjo, dan kemudian di Koningin Emma School di Solo.
Namun, nasib berkata lain. Hanya beberapa bulan setelah memulai pendidikan tinggi, Srimulat disuruh berhenti oleh ibu tirinya. Alasannya, seorang putri ningrat tak perlu sekolah tinggi. Keputusan ini sangat mengguncang Srimulat, namun ia tak mendapat dukungan dari ayahnya dan akhirnya harus menghabiskan masa remajanya dalam kungkungan dinding kewedanaan, belajar berbagai keterampilan dari abdi dalem.
Meskipun terpingit, Srimulat menunjukkan bakat luar biasa dalam seni pertunjukan. Pada usia 12 tahun, ia sudah mahir menari, bernyanyi, dan membatik. Ayahnya, Raden Mas Rumpoko, kadang-kadang mendampingi Srimulat dan saudara-saudaranya dalam belajar menari dan bernyanyi. Hidup Srimulat dipenuhi dengan seni, dengan suara tembang, bunyi gamelan, dan gerakan tari mengiringi setiap langkahnya.
Awal Karier Seni Pertunjukan
Orang tua Srimulat kemudian menjodohkannya dengan seorang kerabat dekat ayahnya, Raden Hardjowinoto, ketika ia baru berusia 15 tahun. Namun, rumah tangganya tak berlangsung lama. Srimulat harus menghadapi tragedi beruntun, kehilangan anaknya yang berusia 2,5 tahun dan suaminya hanya dalam waktu tiga bulan. Kesedihannya bertambah saat ayahnya mencari selir-selir baru.
Muak akan kehidupan feodal dan praktik perseliran di dalam kompleks rumahnya, Srimulat akhirnya mengambil keputusan besar: ia akan pergi. Dengan uang hanya 3,5 sen, ia pergi ke Surakarta dan kemudian ke Yogyakarta. Ia melamar pekerjaan ke dalang terkenal Ki Tjermosugondo yang sedang kondang. Setahun kemudian, Srimulat bergabung dengan Ketoprak Candra Ndedari pimpinan Ki Retsotruno yang sedang pentas di Alun-alun Utara.
Dengan tekad dan semangatnya yang menggebu, RA Srimulat mulai meraih pengakuan sebagai seorang seniman di dunia seni pertunjukan. Ia bergabung dengan rombongan ketoprak Mardi Utomo di Magelang dan Rido Carito. Ketenarannya meluas dari lapisan atas hingga bawah masyarakat. Ia bahkan tak ragu menari bersama penari-penari lokal di berbagai daerah, membawakan tarian-tarian daerah yang kurang dikenal. Selain itu, ia juga diundang dalam acara tradisional seperti penebangan pohon-pohon jati tua di sebuah desa di Blora, Jawa Tengah.
Perjalanan Menuju Ratu Panggung
Srimulat tidak terpaku pada satu bentuk seni pertunjukan. Ia pindah ke panggung Wayang Orang Ngesthi Rahayu yang dipimpin oleh Nyi Murtiasih dari Jawa Timur. Suami Murtiasih memiliki grup orkes yang sering tampil di pesta perkawinan, dan Srimulat diminta untuk bernyanyi dengan iringan musik keroncong dan Hawaiian. Ia bahkan berkelana dari kota ke kota, mengisi panggung hiburan pasar malam. Dalam waktu singkat, Srimulat, seorang anak priyayi yang pernah menjalani pingitan, menjelma menjadi perempuan yang mandiri.
Selain panggung, Srimulat juga membela dengan gigih seorang pesinden bernama Nyai Mas Sulandjari yang berhasil memenangkan lomba kontes batik pada tahun 1938. Kemenangan Sulandjari tersebut menuai protes keras dari para bangsawan Yogyakarta dan Surakarta, karena ia berhasil mengalahkan putri-putri ningrat. Srimulat dengan tegas mendukung Sulandjari dan mengkritik keras para kaum ningrat, menanyakan siapa yang lebih berhak memberikan penilaian dalam kontes semacam itu.
Srimulat juga melangkah ke dunia rekaman, bekerja dengan perusahaan piringan hitam Burung Kenari, Columbia, dan His Master’s. Suara merdunya yang memukau membawakan lagu-lagu seperti “Kopi Susu,” “Padi Bunting,” dan “Janger Bali.” Pada saat itu, hanya mereka yang berpunya yang memiliki gramofon untuk memutar piringan hitam. Budayawan Arswendo Atmowiloto menggambarkan Srimulat sebagai seorang pionir yang meletakkan dasar-dasar seorang artis modern, turun ke pelosok dan pusat keramaian untuk membawakan lagu-lagu secara langsung.
Srimulat juga tampil di panggung Wayang Orang, bergabung dengan kelompok Srikuncoro dan membintangi beberapa film, seperti “Sapu Tangan” (1949), “Bintang Surabaja” (1951), “Putri Sala” (1953), “Sebatang Kara” (1954), dan “Radja Karet dari Singapura” (1956).
Kisah dengan Teguh Srimulat
Meskipun sukses di panggung, kehidupan pribadi Srimulat penuh dengan cobaan. Ia mengalami tiga perceraian dalam pernikahannya. Namun, cinta sejati menemukannya pada tahun 1947 di Purwodadi, Grobogan, ketika ia berbagi panggung dengan Orkes Keroncong Bunga Mawar dari Solo. Gitaris orkes tersebut, yang dikenal dengan nama Teguh Slamet Rahardjo, menarik perhatiannya, dan keduanya saling terpikat.
Pada tanggal 8 Agustus 1950, RA Srimulat menikahi Teguh Slamet Rahardjo, yang saat itu berusia 24 tahun sementara Srimulat berusia 39 tahun. Bersama-sama, mereka membentuk rombongan kesenian keliling bernama Gema Malam Srimulat. Kelompok ini menyajikan kombinasi antara lawak dan nyanyi, terutama lagu-lagu langgam Jawa dan keroncong. Perjalanan karier seni mereka berlanjut dengan berbagai perubahan nama, mulai dari Gema Malam Srimulat hingga Aneka Ria Srimulat.
Mewariskan Kisah dan Karya Abadi
Srimulat adalah sosok yang tak hanya menghibur melalui seni pertunjukan, tetapi juga berjuang untuk hak-hak dan pengakuan para seniman. Perjalanan hidupnya yang luar biasa adalah inspirasi bagi banyak generasi seniman di Indonesia.
Srimulat meninggalkan dunia ini pada tanggal 1 Desember 1968, namun warisannya dalam seni pertunjukan dan keberanian dalam membela para seniman tetap hidup dan terus dihargai oleh masyarakat Indonesia. Ia adalah salah satu tokoh yang membantu membentuk landasan penting dalam perkembangan seni pertunjukan di Indonesia, dan nama “Srimulat” akan selalu diingat sebagai ikon seni pertunjukan yang tak terlupakan.
Srimulat, dari seorang putri ningrat yang dipingit menjadi ratu panggung yang tak kenal lelah, memberikan kita pelajaran tentang tekad, semangat, dan ketekunan dalam mengejar impian. Semangatnya tetap terpatri dalam kisah suksesnya di dunia seni pertunjukan, dan ia akan terus diingat sebagai salah satu legenda terbesar dalam sejarah seni Indonesia. @indonesiabuzz