IndonesiaBuzz: Historia – Namanya mungkin tak sepopuler Kartini atau Dewi Sartika. Namun, di balik berdirinya organisasi perempuan terbesar di Indonesia, terdapat sosok visioner yang telah melampaui zamannya: Siti Walidah, istri dari pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, sekaligus pendiri Aisyiyah.
Lahir pada 1872 di Kauman, Yogyakarta, dalam keluarga ulama, Siti Walidah tumbuh dalam lingkungan religius, tapi tak pernah pasrah pada batasan yang mengekang perempuan di era kolonial. Ia mendobraknya dengan cara yang lembut tapi radikal: mendidik, menulis, dan mengorganisasi.
“Beliau bukan hanya pendamping Ahmad Dahlan. Ia adalah pemikir yang mandiri, dengan keberanian intelektual yang tak banyak dimiliki perempuan saat itu,” ujar sejarawan dari Universitas Negeri Yogyakarta, Sri Margana, kepada awak media.
Pada 1917, Siti Walidah mendirikan Aisyiyah, organisasi perempuan Islam pertama di Indonesia, bahkan di dunia. Organisasi ini bukan sekadar sayap Muhammadiyah, tapi berdiri dengan visi kuat tentang pendidikan, kesetaraan, dan pemberdayaan perempuan. Ia menyusun kurikulum, membangun sekolah, hingga menulis seruan moral dalam majalah dan forum keagamaan.
“Ia menempatkan perempuan sebagai subjek dakwah, bukan objek,” kata Sri.
Dalam era ketika perempuan bahkan tidak dianggap layak duduk di ruang musyawarah, tokoh perempuan bersejarah ini justru memimpin sidang, menyampaikan gagasan, dan menggerakkan ribuan kader di seluruh Nusantara. Pandangannya tegas: perempuan harus melek ilmu dan mandiri secara spiritual maupun sosial.
Gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan kepadanya pada 1971. Tapi penghargaan itu tidak cukup mengangkat nama Siti Walidah ke panggung arus utama sejarah bangsa. Banyak generasi muda bahkan tidak mengenal wajahnya, apalagi memahami warisannya.
Kini, upaya mengangkat kembali peran tokoh-tokoh perempuan seperti dia tengah digiatkan sejumlah komunitas dan akademisi. Tak sedikit sekolah dan lembaga pendidikan mulai memasukkan nama Siti Walidah dalam kurikulum alternatif, sebagai bagian dari sejarah perempuan Indonesia yang selama ini terpinggirkan.
“Mengenal Siti Walidah bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi juga menyadari bahwa perjuangan perempuan Indonesia berakar kuat dalam tradisi kita sendiri,” ujar Nurul Rahma, peneliti studi gender di UIN Sunan Kalijaga.