IndonesiaBuzz: Solo, 2 November 2025 – Kabar duka menyelimuti jantung Kota Solo. Minggu pagi (2/11/2025), SISKS Pakoe Boewono XIII Raja Kraton Surakarta Hadiningrat mangkat setelah berjuang melawan sakit yang lama dideritanya. Beliau menghembuskan napas terakhir di salah satu rumah sakit ternama di Solo, pada usia 77 tahun.
Kabar berpulangnya sang raja pertama kali disampaikan langsung oleh Kerabat dalem Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kepada Tabooo.id
“Berita duka, Sinuhun seda,” tulis kerabat dalem yang identitasnya minta disamarkan.
Tak lama kemudian, kabar itu dikonfirmasi oleh R.Ay. Febri Hapsari Dipokusumo, istri dari adik PB XIII, KGPH Dipokusumo.
“Injih, Nyuwun doanya,” ujarnya singkat melalui pesan whatsapp.
Kepastian wafatnya Sinuhun juga disampaikan oleh kerabat keraton, KPH Dani Nur Adiningrat.
“Nyuwun pandonganipun sedoyo,” tulisnya kepada Tabooo.id, kalimat singkat yang menandai duka mendalam atas kepergian sang penjaga marwah budaya Jawa itu.
Keraton Surakarta pagi itu seolah berhenti berdetak. Jenazah almarhum, yang lahir dengan nama KGPA Suryo Partono pada 28 Juni 1948, akan disemayamkan di Keraton Surakarta sebelum dimakamkan di Pajimatan Imogiri, Bantul kompleks pemakaman raja-raja Mataram.
Kepergian Pakoe Boewono XIII bukan hanya kehilangan bagi keluarga keraton, tapi juga bagi siapa pun yang percaya bahwa budaya adalah napas bangsa. Saat prosesi adat nanti digelar, barangkali air mata akan jadi bahasa yang paling jujur untuk mengiringinya.
Dalam catatan sejarah, Sinuhun Pakoe Boewono XIII dikenal sebagai sosok yang tenang dan teguh menjaga eksistensi keraton di tengah dinamika internal yang panjang. Ia juga aktif tampil di berbagai agenda budaya, menjadi figur penting dalam pelestarian tradisi Jawa dan nilai-nilai kebangsaan. Di bawah kepemimpinannya sejak awal 2000-an, Surakarta tetap menjadi mercusuar budaya tempat di mana adat dan zaman berpelukan dalam harmoni.
Kepergian PB XIII bukan hanya kehilangan bagi keluarga keraton, tapi juga bagi siapa pun yang percaya bahwa budaya adalah napas bangsa. Saat prosesi adat nanti digelar, barangkali air mata akan jadi bahasa yang paling jujur untuk mengiringinya.
Karena setiap raja yang berpulang, sejatinya kita sedang kehilangan sepotong jiwa dari sejarah kita sendiri dan siapa yang akan menjaganya setelah ini?.(red)







