Oleh: KP. H. Andri Winarso Wartonagoro (Jurnalis, Pemerhati Budaya)
IndonesiaBuzz: Opini – Dalam politik Indonesia, terutama di tingkat lokal, nilai-nilai tradisional masih menjadi landasan kuat dalam memilih pemimpin. Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, salah satu konsep budaya Jawa yang tetap bertahan adalah bibit, bebet, dan bobot. Ketiga kriteria ini sudah lama digunakan untuk menilai seseorang yang dianggap layak memimpin atau menduduki posisi penting dalam masyarakat. Namun, dalam konteks politik kontemporer yang semakin rumit dan penuh tantangan, apakah konsep ini masih relevan? Dan jika ya, bagaimana kita bisa mengaplikasikannya dengan bijak?
Bibit: Asal-Usul sebagai Cerminan Moralitas dan Integritas
Konsep bibit berakar pada keyakinan bahwa latar belakang keluarga seseorang dapat mencerminkan nilai-nilai moral dan integritas mereka. Dalam budaya Jawa, seorang pemimpin yang berasal dari keluarga baik-baik—terutama yang dihormati di masyarakat—dianggap memiliki potensi untuk memimpin dengan kebajikan. Hal ini diasumsikan karena nilai-nilai moral dan pendidikan sejak dini dianggap sebagai pondasi penting dalam membentuk karakter seseorang.
Namun, di era demokrasi modern, menggunakan bibit sebagai satu-satunya patokan bisa berbahaya jika tidak dipahami secara kritis. Haruskah seseorang yang berasal dari keluarga biasa, tanpa “nama besar”, dikesampingkan dari kepemimpinan hanya karena latar belakangnya? Di sinilah kita perlu mengadaptasi konsep ini. Bibit seharusnya tidak lagi dilihat sebagai asal-usul keluarga secara eksklusif, tetapi lebih kepada rekam jejak integritas, kejujuran, dan tanggung jawab publik. Apakah calon pemimpin itu memiliki riwayat hidup yang bersih dari korupsi? Apakah ia sudah menunjukkan komitmen kepada masyarakat melalui kontribusi nyata, terlepas dari status sosialnya?
Ironisnya, Indonesia kerap mengalami situasi di mana nama besar atau “trah” politikus dipandang sebagai penentu kelayakan mereka untuk memimpin, meskipun integritas pribadi mereka patut dipertanyakan. Hal ini berbahaya karena dapat melanggengkan politik dinasti yang merugikan demokrasi kita. Maka dari itu, masyarakat harus lebih bijak menilai bibit berdasarkan kontribusi nyata dan rekam jejak, bukan semata-mata pada nama belakang atau silsilah keluarga.
Bebet: Status Sosial dan Ekonomi dalam Kacamata Modern
Bebet, yang merujuk pada status sosial dan kemampuan ekonomi calon pemimpin, memiliki akar historis yang dalam. Dalam tradisi lama, calon yang memiliki posisi sosial tinggi dan stabilitas ekonomi dianggap lebih mampu memimpin karena mereka diyakini tidak akan tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan demi memperkaya diri sendiri. Namun, dalam konteks sekarang, apakah status sosial atau kekayaan masih relevan sebagai ukuran utama?
Di era demokrasi dan kesetaraan, pandangan bahwa pemimpin harus berasal dari kalangan elite secara ekonomi sudah tidak lagi relevan. Seorang pemimpin yang baik bukanlah yang kaya atau memiliki status sosial tinggi, melainkan yang mampu mengelola sumber daya secara bijaksana, baik itu sumber daya keuangan, manusia, maupun alam. Kesejahteraan sosial tidak dapat diukur dari besar kecilnya aset pribadi seorang calon pemimpin, tetapi dari kemampuannya menciptakan peluang bagi masyarakat luas. Apakah mereka dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif? Bagaimana rekam jejak mereka dalam memanfaatkan anggaran publik? Transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola dana publik menjadi tolok ukur penting dalam menilai bebet di era modern.
Kita juga sering menyaksikan para pemimpin yang bergelimang harta namun gagal menyejahterakan rakyatnya, bahkan menambah ketimpangan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemilih untuk tidak terjebak pada kemewahan dan janji-janji finansial calon, tetapi menilai bagaimana seorang pemimpin mampu menjadikan kesejahteraan sosial sebagai prioritas utama.
Bobot: Kapasitas dan Komitmen untuk Melayani
Dari ketiga aspek, bobot adalah yang paling esensial dalam konteks politik modern. Bobot merujuk pada kapasitas, nilai diri, dan kualitas kepemimpinan seseorang. Seorang calon pemimpin yang memiliki bobot yang baik bukan hanya harus cerdas, tetapi juga harus memiliki visi yang jelas, keberanian untuk membuat keputusan yang sulit, serta kemampuan untuk merangkul dan mempersatukan masyarakat yang beragam.
Kepemimpinan bukan hanya tentang kemampuan administratif atau teknis, tetapi juga soal karakter. Seorang pemimpin dengan bobot akan mampu mengelola krisis, mendengarkan suara rakyatnya, serta menciptakan kebijakan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Mereka harus mampu memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompoknya. Di sinilah pemilih harus berhati-hati dalam menilai calon, bukan hanya dari retorika kampanye mereka, tetapi juga dari tindakan nyata selama karier politik atau kepemimpinan sebelumnya. Apakah calon tersebut pernah terlibat dalam skandal? Bagaimana sikapnya terhadap kritik? Bagaimana cara ia menangani krisis dan tantangan?
Kita sering terjebak dalam pemilihan yang didominasi pencitraan, sementara kualitas pemimpin yang sebenarnya, seperti kejujuran, keberanian, dan kemampuan menyelesaikan masalah, justru diabaikan. Di sinilah pentingnya untuk menguji bobot seorang calon pemimpin melalui rekam jejak, pengalaman, dan komitmen mereka dalam melayani masyarakat.
Memadukan Nilai Tradisi dengan Tantangan Modern
Konsep bibit, bebet, dan bobot seharusnya tidak menjadi alat untuk melestarikan elitisme atau politik dinasti, melainkan digunakan sebagai panduan kritis untuk menilai pemimpin berdasarkan kualitas yang sebenarnya dibutuhkan dalam memimpin masyarakat yang semakin kompleks. Seorang calon pemimpin yang berasal dari latar belakang sederhana tetapi memiliki integritas dan kemampuan memimpin yang mumpuni, patut mendapatkan kesempatan yang sama.
Dalam krisis kepercayaan terhadap politikus saat ini, di mana korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan marak terjadi, masyarakat perlu menggunakan bibit, bebet, dan bobot sebagai alat untuk menilai pemimpin dengan lebih kritis dan transparan. Bukan sekadar melihat dari permukaan, tetapi lebih mendalami rekam jejak, komitmen, serta kualitas pribadi calon pemimpin.
Pemilihan pemimpin yang baik bukan hanya tentang popularitas atau kekayaan. Kita perlu menilai calon pemimpin dengan lebih teliti, memastikan bahwa mereka memiliki bibit yang berakar pada integritas, bebet yang ditunjukkan melalui kemampuan mengelola sumber daya dengan bijak, dan bobot yang mencerminkan kualitas diri yang benar-benar mampu memimpin masyarakat ke arah yang lebih baik. @indonesiabuzz