IndonesiaBuzz: Historia – Pada tanggal 18 September 1948, Indonesia menyaksikan salah satu babak kelam dalam sejarahnya: Pemberontakan PKI Madiun. Partai Komunis Indonesia (PKI), di bawah kepemimpinan Musso, melancarkan serangan terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Ir. Sukarno.
Pemberontakan ini terjadi di Madiun, Jawa Timur, dan dianggap sebagai ancaman serius terhadap persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pimpinan PKI Musso menyatakan berdirinya Republik Soviet Indonesia, memperumit situasi politik yang tengah berkecamuk.
Peristiwa ini tak bisa dipisahkan dari runtuhnya Kabinet Amir Syarifuddin pada tahun 1948. Amir, yang menjabat sebagai Perdana Menteri, menandatangani Perjanjian Renville yang ternyata merugikan Indonesia. Sebagai hasil dari kesepakatan ini, hanya Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Sumatera yang diakui sebagai wilayah Republik Indonesia oleh Belanda. Tak ayal, keputusan ini memicu kontroversi dan menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir, yang kemudian diambil alih oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Amir tidak sepakat dengan Kabinet Hatta, sehingga ia membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. FDR menjadi wadah bagi partai oposisi yang terdiri dari komunis dan sosialis kiri.
FDR terdiri dari beberapa partai, antara lain:
- Partai Komunis Indonesia (PKI)
- Partai Sosialis Indonesia (PSI)
- Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo)
- Partai Buruh Indonesia (PBI)
- Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia
Seiring berjalannya waktu, FDR yang dipimpin oleh Amir semakin radikal dan memberikan perlawanan keras terhadap Kabinet Hatta. Gerakan ini memiliki dua kekuatan utama, yaitu TNI-Masyarakat dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang memiliki hampir 300.000 anggota.
Ketegangan semakin memuncak ketika Hatta memulai program rasionalisasi dan menyematkan label komunis pada TNI-Masyarakat. FDR mulai mencari dukungan dari kalangan petani dan buruh, mendorong mereka untuk mogok kerja. Namun, pemerintah menganggap tindakan ini sebagai ancaman serius terhadap negara.
Situasi semakin kompleks dengan kembalinya tokoh komunis Indonesia yang pernah belajar di Uni Soviet, Musso, ke tanah air. Bersama Amir, mereka melakukan kampanye propaganda di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyebarluaskan ideologi komunis.
Puncak dari ketegangan ini terjadi pada bulan September 1948, di mana pemerintah dan kelompok sayap kiri saling menculik. Akibatnya, Madiun di Jawa Timur menjadi benteng terakhir FDR. Pada tanggal 18 September 1948 pukul 03.00 pagi, FDR Madiun mulai merebut pejabat pemerintah daerah, pusat telepon, dan markas tentara.
Dalam serangan ini, dua perwira tewas dan empat orang terluka. Dalam hitungan jam, Madiun berhasil dikuasai sepenuhnya oleh FDR. Setiadjit dan Wikana dari FDR mengambil alih pemerintahan sipil dan membentuk Front Pemerintah Nasional Daerah Madiun.
Namun, situasi berubah ketika Presiden Soekarno dan Musso menyuarakan pandangan mereka pada malam tanggal 19 September 1948. Soekarno menyatakan pemberontakan Madiun sebagai upaya penggulingan pemerintah Indonesia. Sementara itu, Musso membentuk Republik Soviet Indonesia dan menyatakan perang terhadap Indonesia dengan menuding Sukarno-Hatta sebagai budak imperialisme dan pengedar Romusha.
Meskipun begitu, beberapa pemimpin FDR memilih untuk tidak memihak kepada Musso dan menyatakan kesiapan untuk berdamai dengan pemerintah. Namun, upaya untuk mencari penyelesaian damai tampak diabaikan oleh pemerintah. Mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk menumpas sayap kiri di Indonesia.
Brigade Siliwangi Letkol Sadikin dikirim untuk mengambil alih Madiun. Untuk menghindari konflik dengan TNI, FDR/PKI mundur ke pegunungan sekitar Madiun. Namun, mereka dikepung oleh Batalion Divisi Sungkono yang dipimpin oleh Mayor Sabarudin di desa Kandangan.
Pada tanggal 28 Oktober 1948, pemerintah menangkap sekitar 1.500 orang. Musso akhirnya ditembak mati pada tanggal 31 Oktober 1948 saat bersembunyi di sebuah kamar kecil. Sebulan kemudian, Djoko Sujono dan Maruto Darusman juga ditangkap. Amir akhirnya tertangkap pada tanggal 4 Desember 1948 bersama tokoh FDR lainnya.
Pada tanggal 19 Desember 1948, Amir, Maruto, Djoko, Suripno, dan para pemimpin FDR dieksekusi. Tindakan ini dianggap sebagai simbol keberhasilan pemerintah dalam memadamkan pemberontakan.
Diperkirakan sekitar 24.000 orang tewas dalam peristiwa PKI Madiun, dengan 8.000 di antaranya berasal dari Madiun, 4.000 dari Cepu, dan 12.000 dari Ponorogo. Gubernur Jawa Timur saat itu, RM Suryo, juga tewas dalam peristiwa ini, bersama dengan sejumlah tokoh lainnya. Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 ini menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah Indonesia. @indonesiabuzz