IndonesiaBuzz: Relationship – Awalnya manis. Pesan-pesan setiap pagi, perhatian yang berlimpah, hingga janji-janji masa depan yang terdengar sempurna. Namun, seiring waktu, semua berubah. Perhatian menjelma menjadi pengawasan, cinta menjadi kendali, dan komunikasi berubah menjadi tekanan. Tanpa sadar, banyak orang terjebak dalam hubungan tidak sehat yang dikira cinta sejati.
Fenomena ini jamak disebut sebagai cinta toxic — relasi emosional yang lebih banyak menguras energi ketimbang memberi ketenangan. Psikolog klinis Risa Anggraini menyebut, banyak korban tidak menyadari bahwa mereka sedang terperangkap dalam dinamika relasi yang merusak.
“Sifat toxic tidak selalu datang dengan kekerasan fisik. Bisa berupa manipulasi, ancaman emosional, atau kecemburuan yang dikemas sebagai rasa sayang,” ujar Risa saat ditemui Tempo, Jumat lalu.
Menurutnya, tanda-tanda hubungan toxic kerap bermula dari ketidakseimbangan kuasa. Satu pihak merasa lebih dominan, sedangkan yang lain terus-menerus berupaya menyesuaikan diri agar ‘tidak ditinggalkan’.
Survei internal Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tahun 2024 menemukan bahwa 3 dari 5 anak muda di kota besar pernah mengalami bentuk relasi tidak sehat, terutama dalam hubungan pacaran.
“Sayangnya, banyak yang mengira posesif adalah bentuk cinta,” ujar Yohana, konselor di lembaga pendamping remaja LoveCare Indonesia.
Media sosial turut memperparah normalisasi hubungan seperti ini. Konten berlabel “bucin”, “relationship goals”, atau bahkan drama viral sering kali menyamarkan pola relasi yang problematik sebagai sesuatu yang wajar, bahkan romantis.
Pakar menyarankan pentingnya edukasi hubungan sehat sejak usia dini — tidak hanya tentang cinta, tetapi juga tentang batasan, otonomi diri, dan komunikasi yang sehat.
“Cinta tidak seharusnya menuntut kita kehilangan identitas,” kata Risa.