IndonesiaBuzz: Surakarta, 3 November 2025 – Sri Susuhunan Pakubuwono XIII tutup usia. Kabar duka itu menutup satu bab penting dalam kisah panjang Kraton Surakarta Hadiningrat sebuah institusi yang selama berabad-abad menjadi penjaga tradisi dan kebudayaan Jawa.
Dikenal sebagai sosok kalem namun teguh, PB XIII bukan sekadar seorang raja. Ia adalah penyangga terakhir di antara gelombang modernitas yang terus mengikis batas antara masa lalu dan kini. Dalam diamnya, ia menjaga napas tradisi agar tetap berdenyut di tengah hiruk-pikuk zaman digital.
Lahir dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Suryadi pada 28 Juni 1948, ia adalah putra tertua dari Sri Susuhunan Pakubuwono XII. Masa kecilnya diwarnai sakit-sakitan hingga sang ayah mengganti namanya menjadi GRM Surya Partana sebuah doa agar terang dan kesehatan menyertai perjalanan hidupnya.
Setelah PB XII wafat pada 2004, ia dinobatkan sebagai Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, penerus tahta ke-13 Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sejak saat itu, PB XIII dikenal sebagai figur yang menenangkan. Ia jarang berpidato panjang, tapi langkah-langkahnya tegas: menjaga adat, membina sentono dalem, dan memastikan Keraton Surakarta tetap hidup dalam kesadaran rakyatnya.
Selama lebih dari dua dekade, PB XIII menjadi lambang kesinambungan budaya Jawa. Di tangannya, keraton bukan sekadar peninggalan sejarah, melainkan ruang hidup bagi seni, spiritualitas, dan kebijaksanaan lokal. Ia hadir dalam setiap upacara adat, memimpin ritual, dan memberi teladan kesederhanaan. Bahkan hingga awal 2025, ia masih sempat memimpin upacara Tingalan Dalem Jumenengan ke-21 momen terakhirnya sebagai raja.
Bagi keluarga dan kerabat, PB XIII dikenal sebagai pribadi lembut dan penuh welas asih. Dari beberapa pernikahan, ia dikaruniai anak-anak yang menjadi penerus darah biru Mataram Surakarta. Pada 27 Februari 2022, ia secara resmi menetapkan KGPH Purbaya sebagai putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Sudibyo Rajaputra Narendra ing Mataram atau KGPAA Hamangkunagoro. Keputusan itu bukan sekadar formalitas, melainkan penegasan agar nyala budaya Jawa terus menyala di tangan generasi berikutnya.
Kini, kepergian PB XIII menyisakan duka mendalam. Namun, di balik keheningan kabar duka itu, warisan nilai dan kebijaksanaannya tetap hidup dalam gamelan yang berdenting di pendapa, dalam bahasa halus yang diajarkan para abdi dalem, dan dalam semangat masyarakat Jawa yang terus mencari harmoni di tengah perubahan zaman.
Keraton mungkin kehilangan rajanya, tapi Jawa masih memiliki cahayanya.







