IndonesiaBuzz: Madiun, 22 September 2023 – Sebanyak 80 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lapas Kelas I Madiun, yang juga dikenal dengan sebutan Penjara Klethak, mengambil bagian dalam kegiatan kerja menjahit di ‘pabrik’ konveksi. Pabrik konveksi ini, meskipun baru berusia singkat, telah mampu memproduksi rompi monyet.
Rompi monyet yang diproduksi merujuk pada rompi mini yang diciptakan untuk kepentingan pelatihan para narapidana. Setelah mencapai tingkat keterampilan yang memadai, mereka akan terlibat dalam produksi konveksi secara komersial dan memasarkannya kepada khalayak umum.
Kepala Lapas Kelas I Madiun, Kadek Anton Budiharta, menyatakan bahwa 80 narapidana yang terlibat dalam kegiatan menjahit konveksi telah melewati proses asesmen dan pengumpulan informasi sehingga memenuhi syarat untuk mengikuti pelatihan dengan bimbingan ahli di bidang konveksi.
Kadek menjelaskan bahwa Lapas Kelas I Madiun, atau Lasatma, berkolaborasi dengan PT Amora, sebuah pabrik konveksi di Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka bekerja sama dalam kegiatan menjahit untuk menciptakan rompi mini, dimana supervisor dari PT Amora memberikan tantangan dengan desain mini dan mengawasi secara langsung, termasuk kontrol kualitas dari hasil produksi konveksi.
“Sebelum memproduksi secara massal untuk pasar, rompi mini ini dijadikan sebagai ujian bagi para narapidana, karena pengerjaannya lebih rumit dibandingkan dengan rompi ukuran normal,” ujar Kadek, Selasa, 20 September 2023.
Para narapidana yang terlibat dalam produksi konveksi akan menerima premi berupa tabungan dan e-Pas Pay. Tabungan ini akan diberikan kepada mereka setelah bebas sebagai bekal untuk memulai kehidupan baru. Sementara e-Pas Pay adalah alat bayar yang berlaku di Lasatma, sebagai langkah untuk meminimalisir transaksi tunai di dalam Lapas dan mengatasi pungutan liar.
Dari total narapidana sebanyak 1.200 orang, dipilih 80 narapidana pria untuk mengikuti kegiatan kerja menjahit, sedangkan 32 diantaranya merupakan narapidana perempuan yang penempatannya terpisah. Kadek memastikan bahwa jumlah narapidana yang terlibat akan terus bertambah.
“Kami sedang menunggu kedatangan dua ratus mesin jahit dari pihak ketiga, sehingga rencananya akan ada 120 narapidana yang bergabung dalam pabrik konveksi ini,” ungkapnya.
Kepala Lapas Kelas I Madiun, Kadek Anton Budiharta, yang belum genap satu tahun menjabat, menjelaskan bahwa para narapidana diwajibkan untuk memenuhi kewajiban mereka sebelum mendapatkan hak selama masa tinggal di Lasatma.
“Mereka harus ikut serta dalam kegiatan dan pembinaan sebelum mendapatkan remisi, asimilasi, atau pembebasan bersyarat. Tidak ada narapidana yang boleh menganggur, dan kegiatan kerja adalah salah satu program penting yang harus diikuti oleh para narapidana,” kata mantan Kalapas Kelas II A Tangerang itu.
Menurut Kadek, arahan dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah untuk mentransformasikan kegiatan Lapas agar menjadi transparan dan memberikan nilai positif yang luas bagi masyarakat. Upaya sinergi dengan pihak ketiga dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Selain kegiatan menjahit, Lapas Kelas I Madiun juga melaksanakan program-program pembinaan kemandirian lainnya. Ini meliputi pembuatan pajangan dari kayu jati ukir, bangku taman dari bahan drum bekas, sablon kaos, batik tulis Lasatma, pembuatan tempe, dan pembuatan roti yang diikuti oleh narapidana perempuan. Produk-produk ini telah dipasarkan di luar Lapas dan perlu pengembangan pemasaran yang lebih intensif, terutama melalui platform e-Commerce.
“Kami sudah pasarkan ke luar Lapas. Produk kami sudah tembus ke pasar luar. Hanya perlu lebih intens untuk mengembangkan pemasaran, terutama e-Commerce,” kata Kadek.
Batik tulis juga menjadi daya tarik bagi para narapidana di Lapas Kelas I Madiun. Mereka telah mulai merancang motif-motif khas Madiun untuk memperluas pengetahuan tentang keunikan budaya mereka. Namun, perlu dipertimbangkan agar motif batik tersebut tidak bertabrakan dengan ikon Madiun yang sudah lebih dulu dikenal, seperti pecel Madiun.
Saat ini, motif bunga yang telah dibuat di atas kain dijual dengan harga terjangkau, berkisar antara Rp 300 hingga 400 ribu. Bahkan, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, telah menjadi salah satu pembeli batik tulis Lasatma buatan warga binaan.
“Eddy Hiariej memilih batik dengan corak bunga yang dipadukan dengan warna hitam, merah, dan sentuhan warna kuning,” paparnya.
Salah satu narapidana, Aryanto, yang merupakan terpidana kasus narkoba, mengungkapkan kegembiraannya atas kesempatan lolos asesmen menjahit. Meskipun baru empat bulan di Lasatma, ia berharap dapat mengembangkan keterampilan ini setelah bebas.
“Saya baru empat bulan. Tapi senang bisa ikut menjahit. Nanti kalau bebas saya akan kembangkan keterampilan ini,” kata Aryanto, 30 tahun asal Malang.
Selain memberdayakan narapidana secara ekonomi, program-program ini juga membantu meminimalisir pungutan liar di dalam Lapas. Hal ini selaras dengan visi dari Kepala Seksi Pembinaan Kerja Pemasyarakatan, Taufiqul Hidayatullah, yang memastikan bahwa tak ada narapidana yang menganggur di penjara.
Dalam rangka memaksimalkan hasil dari program-program ini, pihak Lapas berencana untuk terus mengembangkan program kerja sama dengan pihak ketiga, sehingga lebih banyak narapidana dapat terlibat dan diberdayakan untuk membangun keterampilan yang bermanfaat bagi masa depan mereka setelah bebas. Diharapkan, program ini akan memberikan nilai positif yang berdampak luas kepada masyarakat. (Hms/Red)