Peristiwa G30S merupakan titik balik krusial dalam sejarah Indonesia. Momen tersebut tidak hanya mengakhiri era Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno, tetapi juga menjadi panggung bagi bangkitnya kekuasaan Mayor Jenderal Soeharto, yang kelak akan memimpin Indonesia selama 32 tahun.
IndonesiaBuzz: Historia – Di tengah kegelapan pagi 1 Oktober 1965, saat enam jenderal senior Angkatan Darat diculik dan dibunuh, Indonesia terjerumus ke dalam kekacauan politik. Namun, dari kekosongan komando itulah, muncul satu nama yang kelak akan mengubah takdir bangsa: Mayor Jenderal Soeharto.
Sebagai Komandan Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat), Soeharto bukan hanya berhasil lolos dari operasi penculikan, tetapi juga dengan cepat memanfaatkan situasi untuk menegakkan kendali militer, meletakkan fondasi bagi era kekuasaannya yang panjang.
Jejak Soeharto pada hari itu menjadi salah satu topik paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. Tindakannya secara efektif mengakhiri Gerakan 30 September (G30S) dan membawanya ke puncak kekuasaan, namun juga memicu perdebatan historiografis yang terus berlanjut hingga kini.
Langkah Taktis di Markas Kostrad
Pada pukul 05.30 WIB, Soeharto menerima laporan dari ajudan bahwa para jenderal senior diculik. Berbeda dengan pandangan umum yang menyatakan ia panik, Soeharto tetap tenang. Ia dengan cepat menjadikan markas Kostrad sebagai pusat komando darurat. Berbekal informasi intelijen yang ia miliki, Soeharto memutuskan untuk tidak mengerahkan pasukan secara membabi buta, melainkan melakukan konsolidasi.
Langkah pertamanya adalah memastikan Kostrad tetap berada di bawah kendalinya dan tidak terpapar pengaruh G30S. Ia segera berkoordinasi dengan perwira-perwira kunci yang setia padanya, termasuk Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dari RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Soeharto tidak hanya duduk menunggu, ia secara proaktif mengirim utusan untuk mengonfirmasi laporan dan mengumpulkan informasi intelijen.
Pada siang hari, Soeharto membuat keputusan paling strategis: merebut kembali aset vital yang dikuasai G30S, yaitu stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) dan Gedung Telekomunikasi. Dengan pasukan yang minimal namun terlatih, ia yakin mampu menjalankan misi ini tanpa pertempuran besar. Tujuannya jelas: mengendalikan narasi publik.

Menguasai Narasi, Mengamankan Kekuasaan
Pada pukul 19.00 WIB, pasukan RPKAD di bawah Sarwo Edhie Wibowo bergerak. Operasi merebut RRI berlangsung singkat dan nyaris tanpa perlawanan. Dalam waktu kurang dari 30 menit, kedua gedung strategis tersebut berhasil dikuasai. Kemenangan taktis ini secara efektif memutus jalur komunikasi G30S dengan publik dan pasukan mereka di daerah.
Setelah RRI aman, Soeharto segera mengeluarkan pengumuman yang disiarkan di seluruh Indonesia. Ia mengklaim sebagai “pengendali” Angkatan Darat yang mengambil alih kepemimpinan pasca tewasnya jenderal senior. Pengumuman ini menciptakan dua persepsi kunci:
- Penyelamat Bangsa: Bagi sebagian besar masyarakat yang ketakutan, Soeharto tampil sebagai sosok yang tegas dan berani, yang muncul di tengah kekosongan kekuasaan untuk menyelamatkan bangsa dari kudeta.
- Langkah Oportunistik: Para kritikus melihatnya sebagai tindakan seorang “oportunis” yang memanfaatkan krisis untuk merebut kekuasaan. Mereka menyoroti mengapa Soeharto, yang sudah memiliki informasi intelijen, memilih untuk tidak bertindak hingga para jenderal saingannya tewas.
Jejak Soeharto pada hari itu menunjukkan perpaduan antara kecerdasan taktis militer dan naluri politik yang kuat. Ia tidak hanya berhasil mengamankan kembali ibukota, tetapi juga memosisikan dirinya sebagai satu-satunya figur yang kredibel untuk memimpin negara.
Supersemar dan Konsolidasi Akhir
Kemenangan militer Soeharto pada 1 Oktober 1965 hanyalah awal dari perjalanan menuju kekuasaan. Langkah politik selanjutnya, yang paling menentukan, adalah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966. Surat ini, yang konon ditandatangani oleh Presiden Soekarno, memberikan kewenangan penuh kepada Soeharto untuk “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas jalannya pemerintahan.”
Meskipun isi otentik Supersemar masih menjadi misteri, Soeharto menggunakannya sebagai landasan hukum untuk membubarkan PKI dan menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari pemerintahan. Akhirnya, pada Maret 1967, Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden, dan setahun kemudian ia dilantik sebagai Presiden penuh.
Jejak Soeharto dalam kekacauan G30S adalah pelajaran historis yang kompleks. Ia adalah arsitek dari sebuah transisi kekuasaan yang tidak hanya mengubah pemerintahan, tetapi juga ideologi, ekonomi, dan masyarakat Indonesia selama lebih dari tiga dekade. @indonesiabuzz