IndonesiaBuzz: Historia – Nahdlatul Ulama (NU) bukan sekadar organisasi keagamaan. Ia lahir sebagai gerakan peradaban sebuah revolusi spiritual yang tumbuh dari rahim penderitaan bangsa dan kegelisahan iman. NU tidak lahir di ruang-ruang rapat kaum elit, melainkan di surau-surau sederhana tempat para kiai desa mengajarkan Islam yang tidak hanya dihafal, tetapi dihidupi.
Didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya, NU menjadi wadah perjuangan para ulama yang menolak ketertindasan kolonial, kebodohan, dan kemiskinan. Sejak awal, NU hadir bukan untuk menjaga status quo, melainkan mengguncang tatanan lama yang mengekang umat. Pesan yang dikumandangkan jelas, Islam tidak boleh menjadi alat penindasan, melainkan harus menjadi kekuatan pembebasan.
Dari sinilah muncul wajah Islam yang khas Nusantara Islam yang berpihak pada rakyat kecil, menolak tunduk pada kekuasaan zalim, dan menolak diseret ke dalam proyek politik yang eksklusif. NU tidak berdiri di menara gading, tetapi berpijak di lumpur kehidupan, bersama petani di sawah, buruh di pabrik, nelayan di pesisir, dan santri di pesantren.
NU mengajarkan bahwa ibadah tidak berhenti di mihrab, tetapi juga hadir di ladang kerja dan ruang perjuangan sosial. Berjuang di sawah, di kelas, bahkan di parlemen adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Di sinilah letak kekuatan NU menyatukan langit dan bumi dalam satu nafas keimanan.
Organisasi ini menolak Islam yang kaku dan beku, yang hanya sibuk mengutip ayat tanpa menanam nilai. NU juga menolak Arabisasi yang mengikis kebudayaan lokal. Bagi NU, Islam Nusantara bukanlah kompromi, melainkan strategi peradaban sebuah jalan tengah yang membebaskan, Islam yang membumi tanpa kehilangan langitnya.
Ketika dunia Islam terbelah antara liberalisme yang kehilangan ruh dan fundamentalisme yang kehilangan akal, NU berdiri tegak membawa panji tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan ta’addul (adil). Moderasi dalam pandangan NU bukan berarti netral tanpa sikap, melainkan keberpihakan pada kemanusiaan.
Revolusi yang diusung NU bukanlah revolusi senjata, melainkan revolusi kesadaran. Sebuah gerakan yang mengubah cara berpikir umat, dari dogma menuju daya cipta, dari kebencian menuju kasih sayang, dari kepasrahan menuju keberanian.
NU tidak haus kekuasaan, tetapi menyadari bahwa kekuasaan harus dikelola agar tidak disalahgunakan. NU tidak menolak modernitas, namun menolak diperbudak oleh modernitas. Keseimbangan inilah yang menjadi ciri Islam matang, Islam yang telah melewati ujian sejarah dan tetap tegak dengan kepala terangkat.
Dalam perjalanan hampir satu abad, NU menjadi benteng terakhir bangsa dari dua ekstrem, fanatisme keagamaan dan kapitalisme yang menindas. Di tangan NU, agama tidak menjadi candu yang meninabobokan, tetapi energi yang menggerakkan perubahan.
Menjadi Nahdliyin, bagi banyak orang, bukan sekadar identitas keorganisasian. Ia adalah pernyataan sikap ideologis berpihak pada rakyat, pada keadilan, dan pada kemanusiaan. Di sinilah ruh perjuangan NU terus hidup.
Selama masih ada ketimpangan, penindasan, dan kebodohan, tugas revolusioner NU belum selesai. Ia akan terus bergerak dengan kitab di tangan kanan dan cangkul di tangan kiri. Dengan doa di bibir dan tekad di dada.
Sebab Islam yang sejati, sebagaimana diyakini NU, adalah Islam yang membebaskan. Dan itulah Islam Nahdlatul Ulama. (Kridho S/Koresponden Madiun)