IndonesiaBuzz : Madiun, 5 November 2025 – Persidangan perkara sengketa tanah antara keluarga almarhum Agli melawan keluarga almarhum Heri kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Magetan, Rabu (5/11/2025).
Perkara dengan nomor 14/Pdt.G/2025/PN Mgt ini menghadirkan pihak penggugat Ari Kristianti melawan para tergugat Yuliana Sugeng, Elizabeth Setijono, dan Paulus Hermawan.
Dalam sidang kali ini, pihak penggugat menghadirkan tiga alat bukti surat dan satu orang saksi.
Kuasa hukum penggugat, Darsi, SH, menjelaskan bahwa alat bukti yang diajukan meliputi surat kuasa yang dibuat di hadapan notaris, akta jual beli (AJB) tahun 2000, serta buku tanah.
Menurutnya, akta jual beli tersebut cacat hukum karena dibuat setelah pemberi kuasa, yakni almarhum Agli, meninggal dunia pada tahun 1997.
“Kuasa itu seharusnya gugur karena pemberi kuasa sudah meninggal. Tapi AJB tetap dibuat tahun 2000 tanpa melibatkan ahli warisnya,” jelas Darsi usai sidang.
Ia menambahkan, dari buku tanah terlihat bahwa kepemilikan tanah telah berpindah beberapa kali meski dasar peralihannya menggunakan kuasa yang sudah tidak sah.
“Sertifikat bisa berubah nama ke para tergugat padahal kuasanya tidak lagi berlaku,” imbuhnya.
Satu orang saksi yang dihadirkan dalam sidang juga menguatkan bahwa sejak tahun 2000 hingga sekarang, tanah dan rumah tersebut masih ditempati oleh Yohana, istri almarhum Agli, bersama anak-cucunya.
“Selama 25 tahun tidak pernah ada yang mengusik atau mengklaim tanah itu,” ujar Darsi.
Menurut Darsi, proses jual beli yang dilakukan berdasarkan kuasa yang telah gugur jelas menyalahi hukum.
Ia juga menilai ada kelalaian dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang seharusnya mengetahui bahwa pemberi kuasa sudah meninggal dunia.
“PPAT bilang tidak diberi tahu kalau Pak Agli sudah meninggal. Di situ letak kecurangannya. Kalau diberi tahu, pasti dicari ahli warisnya dulu,” tegasnya.
Sementara itu, pihak penggugat Ari Kristianti, yang merupakan anak almarhum Agli, menuturkan bahwa sengketa tersebut berawal dari utang piutang sebesar Rp15 juta antara orang tuanya dan almarhum Heri.
Menurutnya, keluarga telah berupaya melunasi utang tersebut, namun selalu dipersulit.
“Ibu saya pernah datang bawa uang Rp15 juta, lalu Rp30 juta, bahkan Rp50 juta, tapi selalu ditolak. Terakhir malah diminta Rp125 juta. Kami sudah tidak sanggup, dan tiba-tiba tanah sudah dibalik nama,” kata Kristin.
Kuasa hukum pihak tergugat, Gunadi, SH, membantah adanya kejanggalan dalam penerbitan sertifikat.Menurutnya, kliennya—Elizabeth, Paulus Hermawan, dan Yuliana—memperoleh tanah tersebut secara sah sebagai ahli waris dari almarhum Heri.
“Klien kami memegang sertifikat asli yang diterbitkan resmi oleh BPN. Sertifikat tidak akan terbit kalau ada persyaratan yang tidak dipenuhi,” ujar Gunadi.
Ia juga menegaskan bahwa dalam proses akta jual beli, istri almarhum Agli, yakni Yohana, turut hadir dan menandatangani dokumen di hadapan notaris.
“Beliau hadir dan ikut menandatangani akta jual beli. Jadi kalau sekarang menggugat, itu sama saja mengingkari perjanjian yang sudah dibuatnya sendiri,” lanjutnya.
Gunadi menambahkan, jika pihak penggugat menduga ada kecurangan dari pihak notaris, hal itu di luar kewenangan tergugat.
“Kalau memang ada dugaan seperti itu, biar notarisnya yang menjelaskan. Kami hanya memastikan proses jual beli sudah sesuai prosedur,” tuturnya.
Menurut Gunadi, perkara ini kemungkinan berawal dari hubungan utang-piutang yang kemudian berubah menjadi kesepakatan jual beli karena pihak peminjam tidak mampu melunasi kewajiban.
“Mungkin dulu awalnya gadai, lalu karena tidak bisa menebus, disepakati jadi jual beli,” pungkasnya. (Arn/Tim)







