Dr. (c) KPAA Ferry Firman Nurwahyu, S.H., M.H., Kuasa Hukum SISKS Pakoe Boewono XIII, Ketua Tim Hukum & Hak Asasi Manusia Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kembali bagi-bagi gelar dan kekancingan tanpa seijin Raja Kraton Surakarta SISKS Pakoe Boewono (PB)XIII. Alih-alih mendapatkan ijin, penghargaan tersebut diberikan kepada orang-orang yang tidak dikenal oleh PB XIII, yang semestinya merupakan pemegang tampuk kekusaan tertinggi di Kraton Surakarta saat ini.
Kejadian ini menimbulkan keprihatinan dan memicu pertanyaan tentang keabsahan LDA di dalam struktur pemerintahan Kraton Surakarta.
Seperti yang diketahui, antara SISKS Pakoe Boewono XIII dan GRay. Moertiyah dkk, pada tanggal 23 Juni 2017, mereka sepakat dan menandatangani perjanjian perdamaian. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah pembubaran Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpin oleh GRay. Moertiyah. Sayangnya, hingga saat ini perjanjian tersebut belum dilaksanakan oleh pihak terkait, bahkan digunakan sebagai alat untuk merongrong kewibawaan pemerintahan SISKS Pakoe Boewono XIII di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (KKSH).
Berdasarkan Pasal 130 Ayat (2) HIR, akta perdamaian atau perjanjian perdamaian memiliki kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, dan tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Oleh karena itu, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutori. Artinya, pelaksanaan perjanjian tersebut dapat dilakukan tanpa melibatkan pengadilan dan dianggap final serta mengikat semua pihak yang terlibat.
Namun, dalam kasus LDA dan Kraton Surakarta, kekuatan eksekutorial perjanjian perdamaian tampaknya diabaikan. LDA tetap beroperasi, dan bahkan memberikan gelar dan kekancingan dengan mengatasnamakan “Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat”, serta dilakukan di lingkungan kraton, akan tetapi tanpa sepengetahuan dari pihak berwenang di Kraton Surakarta, yakni PB XIII. Tentu saja, hal ini mengarah pada pelanggaran perjanjian perdamaian yang telah disepakati sebelumnya, yang menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan LDA dan potensi kerentanan dalam sistem hukum.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa perjanjian perdamaian ini belum dilaksanakan dengan tepat. Apakah ada kepentingan politik atau alasan lain yang mendorong LDA untuk tetap beroperasi? Keberlanjutan LDA dalam memberikan gelar dan kekancingan tanpa persetujuan dari Kraton Surakarta menimbulkan keraguan akan integritas legalitas dan otonomi sistem hukum di Indonesia. Seharusnya, pihak yang terlibat dalam perjanjian perdamaian, termasuk LDA, harus menghormati keputusan dan ketentuan yang telah disepakati.
Penyalahgunaan kekuasaan oleh LDA juga mencerminkan kelemahan dalam tata kelola pemerintahan di lingkungan Kraton Surakarta. Pihak Kraton semestinya bersikap tegas dalam menegakkan otoritas dan menjaga keutuhan lembaga serta perjanjian yang telah disepakati. Keberadaan LDA yang beroperasi tanpa persetujuan dari pihak yang berwenang adalah tanda dari ketidakjelasan struktural dan kurangnya pengawasan yang efektif.
Lebih jauh lagi, penyalahgunaan kekuasaan oleh LDA memberikan contoh buruk dalam menjaga integritas lembaga adat dan tradisi di Indonesia. LDA seharusnya menjadi lembaga yang memelihara kearifan lokal dan adat istiadat, tetapi tindakan mereka yang melanggar perjanjian perdamaian menimbulkan keraguan akan niat mereka yang sebenarnya. Hal ini dapat merusak hubungan antara lembaga adat dengan masyarakat serta mempengaruhi kepercayaan publik terhadap institusi adat.
Dalam rangka memperbaiki situasi ini, perlu adanya tindakan tegas dari pihak berwenang untuk menegakkan perjanjian perdamaian yang telah disepakati. Pihak Kraton Surakarta harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membubarkan LDA sesuai dengan perjanjian yang ada. Selain itu, diperlukan juga pembenahan dalam tata kelola pemerintahan di lingkungan Kraton Surakarta untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan di masa depan.
Tidak hanya itu, pemerintah pusat juga perlu turut serta dalam memastikan penghormatan terhadap perjanjian perdamaian dan integritas lembaga adat. Dukungan dan pengawasan yang lebih kuat dari pemerintah dapat membantu menjaga keseimbangan antara lembaga adat dengan sistem hukum nasional.
Kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh LDA dalam konteks Kraton Surakarta Hadiningrat mengingatkan kita pentingnya menjaga independensi dan integritas lembaga-lembaga adat. Dalam sistem hukum yang baik, setiap lembaga harus tunduk pada aturan dan perjanjian yang telah disepakati untuk memastikan keadilan, kestabilan, dan keharmonisan dalam masyarakat. Penegakan hukum yang konsisten dan transparan adalah kunci untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan serta menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga adat dan tradisi yang kaya warisan budaya Indonesia. @And.IndonesiaBuzz